Berbagai cara dan aktivitas dilakukan guna menyambut datangnya malam lailatul qodar, malam seribu malam, yang dipercaya datang pada malam ganjil di bulan suci Ramadan.
Seperti halnya yang dilakukan warga Desa Langkap, Kecamatan Burneh, Kabupaten Bangkalan, Madura. Dalam menyambut malam lailatul qodar, mereka berkumpul di tanah lapang dan kemudian menggelar pawai obor keliling desa, atau yang biasa disebut tradisi Luk-Culuk.
Entah siapa dulu yang memulai tradisi Luk-Culuk tersebut. Yang jelas, warga desa setempat berkeyakinan bahwa tradisi tersebut merupakan warisan dari nenek moyangnya, yang wajib dijaga dan dilestarikan oleh generasi selanjutnya. Sebab, tradisi Luk-Culuk diyakini sakral dan dilaksanakan satu tahun sekali.
Seperti halnya yang dilakukan pada Sabtu 20 Agustus kemarin, atau bertepatan dengan malam ke-21 bulan Ramadan. Lepas melaksanakan buka puasa dan salat maghrib, ratusan pemuda dan anak-anak desa setempat, mulai berdatangan dan berkumpul di tanah lapang.
Dengan atribut lengkap, pakaian baju koko, sarung dan songkok, mereka semua menenteng obor yang dibuat dari berbagai alat. Ada obor yang dari bambu, bahkan ada juga yang dibuat dari tangkai pohon pepaya. Tentunya, diisi dengan minyak tanah dan ujungnya disumpal dengan kain agar bisa menyala menjadi obor.
Dalam satu komando salah satu tokoh masyarakat setempat, mereka lantas menyalakan obor yang sudah disiapkan dan dibawa dari rumah masing-masing. Dalam hitungan ketiga, mereka beramai-ramai menyalakan obor dan dengan suara lantang meneriakkan Luk Culuk.
Tidak hanya berada di tanah lapang saja. Mereka yang meneriakkan yel-yel Luk-Culuk, kemudian berkeliling desa secara bersama-sama, sambil mengajak warga lain untuk ikutan gabung.
"Tradisi Luk-Culuk seperti ini, rutin digelar oleh warga kami. Biasanya, dilakukan pada malam ganjil di bulan ramadhan. Seperti malam ke-21 atau ke-27," ujar salah satu koordinator acara Luk-Culuk, Desa Langkap, Kecamatan Burneh, Kabupaten Bangkalan, M. Amin, kepada beberapa wartawan yang datang meliput acara tersebut.
Amin menyatakan tidak tahu secara pasti apa makna khusus dari Luk-Culuk tersebut. Cuma, secara filosofi dikatakan bahwa dengan acara tersebut, paling tidak sebagai sarana untuk mengingatkan warga, terutama kaum muslim, bahwa puasa sudah memasuki 10 malam yang terakhir.
Di mana, dalam 10 malam terakhir tersebut, diyakini akan datangnya lailatul qodar, malam yang terbaik dari 1.000 malam. Menurut beberapa hadis dan riwayat, malam tersebut akan datang ketika malam ganjil di bulan Ramadan. Entah itu malam 21, 23, 25 dan seterusnya. "Di desa lain, budaya seperti ini (Luk-Culuk) tidak ada. Ya cuma di sini saja dan kami akan terus melestarikannya," terang Amin.
Pria yang berkumis tebal ini menjelaskan, tradisi Luk-Culuk sendiri sebenarnya hanya berlangsung sebentar, yakni dimulai habis buka puasa, tentunya salat maghrib dan berakhir sebelum salat isya. Sebab, setelah itu seluruh pemuda dan anak desa setempat, melaksanakan ibadah salat tarawih berjamaah dan dilanjut tadarrus Alquran.
"Jadi kegiatan seperti ini, sama sekali tidak mengganggu ibadah lain yang ada di bulan suci Ramadan. Saya kira cukup berdampak positif," tambahnya.
Sementar itu, salah satu peserta Luk-Culuk, Sohibul Hikam, menyambut secara antusias acara tersebut. Dia mengaku bersama puluhan teman-teman yang lain, sejak siang harinya sudah menyiapkan obor yang akan digunakan untuk menyemarakkan tradisi Luk-Culuk.
Dia memilih membuat obor dari tangkai pepaya, karena alasan mudah didapat dan hanya diisi minyak tanah sudah bisa menyala. "Tradisi seperti ini sangat baik, karena selain bisa berkumpul dengan teman-teman, juga menjadi sarana untuk mengingatkan kalau puasa sudah hampir selesai," ucapnya.
( Sumber: http://ramadan.okezone.com/read/2011/08/21/335/494546/tradisi-luk-culuk-pengingat-datangnya-lailatul-qodar )
Seperti halnya yang dilakukan warga Desa Langkap, Kecamatan Burneh, Kabupaten Bangkalan, Madura. Dalam menyambut malam lailatul qodar, mereka berkumpul di tanah lapang dan kemudian menggelar pawai obor keliling desa, atau yang biasa disebut tradisi Luk-Culuk.
Entah siapa dulu yang memulai tradisi Luk-Culuk tersebut. Yang jelas, warga desa setempat berkeyakinan bahwa tradisi tersebut merupakan warisan dari nenek moyangnya, yang wajib dijaga dan dilestarikan oleh generasi selanjutnya. Sebab, tradisi Luk-Culuk diyakini sakral dan dilaksanakan satu tahun sekali.
Seperti halnya yang dilakukan pada Sabtu 20 Agustus kemarin, atau bertepatan dengan malam ke-21 bulan Ramadan. Lepas melaksanakan buka puasa dan salat maghrib, ratusan pemuda dan anak-anak desa setempat, mulai berdatangan dan berkumpul di tanah lapang.
Dengan atribut lengkap, pakaian baju koko, sarung dan songkok, mereka semua menenteng obor yang dibuat dari berbagai alat. Ada obor yang dari bambu, bahkan ada juga yang dibuat dari tangkai pohon pepaya. Tentunya, diisi dengan minyak tanah dan ujungnya disumpal dengan kain agar bisa menyala menjadi obor.
Dalam satu komando salah satu tokoh masyarakat setempat, mereka lantas menyalakan obor yang sudah disiapkan dan dibawa dari rumah masing-masing. Dalam hitungan ketiga, mereka beramai-ramai menyalakan obor dan dengan suara lantang meneriakkan Luk Culuk.
Tidak hanya berada di tanah lapang saja. Mereka yang meneriakkan yel-yel Luk-Culuk, kemudian berkeliling desa secara bersama-sama, sambil mengajak warga lain untuk ikutan gabung.
"Tradisi Luk-Culuk seperti ini, rutin digelar oleh warga kami. Biasanya, dilakukan pada malam ganjil di bulan ramadhan. Seperti malam ke-21 atau ke-27," ujar salah satu koordinator acara Luk-Culuk, Desa Langkap, Kecamatan Burneh, Kabupaten Bangkalan, M. Amin, kepada beberapa wartawan yang datang meliput acara tersebut.
Amin menyatakan tidak tahu secara pasti apa makna khusus dari Luk-Culuk tersebut. Cuma, secara filosofi dikatakan bahwa dengan acara tersebut, paling tidak sebagai sarana untuk mengingatkan warga, terutama kaum muslim, bahwa puasa sudah memasuki 10 malam yang terakhir.
Di mana, dalam 10 malam terakhir tersebut, diyakini akan datangnya lailatul qodar, malam yang terbaik dari 1.000 malam. Menurut beberapa hadis dan riwayat, malam tersebut akan datang ketika malam ganjil di bulan Ramadan. Entah itu malam 21, 23, 25 dan seterusnya. "Di desa lain, budaya seperti ini (Luk-Culuk) tidak ada. Ya cuma di sini saja dan kami akan terus melestarikannya," terang Amin.
Pria yang berkumis tebal ini menjelaskan, tradisi Luk-Culuk sendiri sebenarnya hanya berlangsung sebentar, yakni dimulai habis buka puasa, tentunya salat maghrib dan berakhir sebelum salat isya. Sebab, setelah itu seluruh pemuda dan anak desa setempat, melaksanakan ibadah salat tarawih berjamaah dan dilanjut tadarrus Alquran.
"Jadi kegiatan seperti ini, sama sekali tidak mengganggu ibadah lain yang ada di bulan suci Ramadan. Saya kira cukup berdampak positif," tambahnya.
Sementar itu, salah satu peserta Luk-Culuk, Sohibul Hikam, menyambut secara antusias acara tersebut. Dia mengaku bersama puluhan teman-teman yang lain, sejak siang harinya sudah menyiapkan obor yang akan digunakan untuk menyemarakkan tradisi Luk-Culuk.
Dia memilih membuat obor dari tangkai pepaya, karena alasan mudah didapat dan hanya diisi minyak tanah sudah bisa menyala. "Tradisi seperti ini sangat baik, karena selain bisa berkumpul dengan teman-teman, juga menjadi sarana untuk mengingatkan kalau puasa sudah hampir selesai," ucapnya.
( Sumber: http://ramadan.okezone.com/read/2011/08/21/335/494546/tradisi-luk-culuk-pengingat-datangnya-lailatul-qodar )